ARTIKEL
Keajaiban Sedekah
16 Apr, 2021“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yag menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun di waktu sempit.” (QS. Ali Imran 133-134)
Sahabat, sungguh aneh jika kita menelisik berbagai ayat atau hadits mengenai sedekah. Tak ada ayat dan hadits yang menyatakan untuk bersedekah di kala rezeki lapang saja. Justru kita dianjurkan menginfakkan sedekah baik di kala mudah maupun susah. Bukankah hal ini terdengar aneh?
Bagaimana kita bisa bersedekah jika kebutuhan diri sendiri saja tidak cukup? Apa maksudnya kita diminta bersedekah padahal kondisi sendiri masih susah? Nah, ternyata di sinilah letak keajaiban sedekah.
Sahabat, sesungguhnya sedekah bisa membuat rezeki yang sedikit sekalipun menjadi barokah, dalam artian membuat yang sedikit menjadi cukup, yang sempit menjadi lapang.
“Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At Thalak: 7)
Dari ayat di atas jelas bahwa sekalipun dalam kondisi sulit, kita diminta untuk menginfakkan harta. Salah satu contoh Sahabat Rasulullah yang biasa bersedekah sekalipun dalam kondisi sempit dan bisa kita jadikan pelajaran adalah kisah keluarga Ali bin Abi Thalib radiyallaahu ‘anhu, yang ikhlas berbagi bahkan dalam kondisi mereka yang amat miris sekalipun.
Dikisahkan bahwa saat itu Hasan dan Husein, putra dari Ali dan Fathimah, sedang jatuh sakit. Oleh karena itu, Ali, Fathimah, bahkan juga kedua putranya bernazar untuk melakukan puasa karena Allah selama 3 hari bila diberi kesembuhan atas penyakit yang diderita.
Allah pun mengabulkan nazar mereka. Hasan dan Husein sembuh. Maka mereka sekeluarga pun berpuasa selama 3 hari untuk memenuhi nazar. Pada hari pertama saat hendak berbuka, tak ada makanan untuk berbuka selain sepotong roti. Namun saat mereka baru saja hendak melahapnya, tiba-tiba saja terdengar suara orang yang mengucapkan salam dari balik pintu. Ali menjawab salam kemudian bangkit untuk menemui orang tersebut.
Rupanya, ada seorang miskin yang menyatakan bahwa dirinya sedang kelaparan karena sudah beberapa hari tidak makan apapun. Ia datang memohon kemurahan hati Ali untuk memberinya sesuatu yang bisa mengisi perutnya. Sungguh kondisi ini membuat Ali bimbang. Ia tahu bahwa keluarganya juga lapar karena telah berpuasa seharian, akan tetapi orang yang berdiri di hadapannya kini tentu jauh lebih kelaparan daripada keluarganya.
Ali pun masuk ke dalam. Ia sampaikan kondisi dan penderitaan orang miskin tadi kepada Fathimah dan kedua putranya. Dengan hati lapang, mereka semua sepakat rela memberikan sepotong roti yang hendak mereka makan kepada orang miskin itu. Tinggallah mereka semua, hanya berbuka dengan beberapa teguk air putih saja, dan pada malam harinya tertidur dengan kondisi menahan lapar.
Pada hari kedua, juga pada saat berbuka, sekali lagi hanya ada sepotong roti yang tersedia bagi keluarga Ali bin Abi Thalib. Roti itu baru saja hendak masuk ke mulut mereka sebagai hidangan berbuka. Namun terdengarlah ucapan salam dari mulut seorang bocah di balik pintu rumah. Ali pun bangkit lalu pergi ke sumber suara. Di sana ia menjumpai seorang bocah yang mengaku yatim dan berkata bahwa dirinya lapar karena ia tidak memiliki orang tua yang memberinya makan.
Hati Ali terenyuh mendengarnya, namun ia sadar bahwa keluarganya pun sedang dalam lapar. Akan tetapi begitu luar biasa keluarga Ali bin Abi Thalib, bahkan roti yang hampir dilahap tadi, akhirnya diberikan kepada bocah yatim yang malang itu. Malam kedua, mereka pun merasakan rasa lapar yang bertambah berat.
Hari terakhir berpuasa untuk memenuhi nazar pun mereka jalankan. Kondisi tubuh sudah semakin lemah. Perut melilit dan terasa perih. Namun sedikit pun mereka tiada mengeluh, bahkan mereka berharap ganjaran pahala berlebih dari Allah yang tiada pernah terpejam. Saat berbuka sudah menjelang, sekali lagi hanya sepotong roti yang hendak mereka santap berlima. Kali itu, pintu pun diketuk dan ucapan salam terdengar.
Hati mereka was-was karena sudah begitu lapar. Namun sekali lagi Ali bangkit dan pergi ke luar. Di sana ia temui ada seorang tawanan yang baru saja dilepaskan. Seperti tawanan lainnya, ia selalu disiksa dan tidak diberi makan. Ia datang dengan perawakan kurus kering, wajah lusuh dan hampir ambruk karena tidak bertenaga. Ali pun merasakan penderitaannya. Sejurus ia pergi ke dalam, ia sampaikan kondisi manusia malang itu. Dengan sukarela mereka sekeluarga mengikhlaskan roti yang hendak mereka santap. Malam itu pun mereka lalui dengan rasa lapar yang makin menjadi.
Sungguh mengagumkan apa yang dilakukan oleh keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az Zahra ini, mereka mampu mengekang keinginan untuk menyantap hidangan yang disukainya dan justru mengalah dengan lebih memilih bersedekah meski dalam keadaan susah.
Allah memuji keluarga Ali dan Fathimah dan mengisahkannya dalam Al Qur’an surah Al-Insan ayat 7-11:
“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.”
Sahabat, mungkin kondisi kita tak seburuk apa yang dialami oleh Ali bin Abi Thalib dan keluarganya yang menahan lapar tiga hari berturut-turut hanya dengan beberapa teguk air saja. Maukah kita berbagi meski dalam kondisi yang tak ideal? Jika kita tetap dapat bersedekah di kala susah, rezeki yang ada akan menjadi berkah. Bisa jadi dengan jalan Allah limpahkan kesehatan, ketenangan jiwa, kebahagiaan, maupun bentuk kemudahan hidup lainnya. In syaa Allah. (SH)